Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memanggil Pasangan Dengan 'Ayah Bunda ' Termasuk Talak?? Berikut Tanggapan Berdasarkan Islam

Pasangan suami istri di Indonesia yang telah dikaruniai anak pada umumnya tidak lagi meman Memanggil Pasangan dengan 'Ayah Bunda ' Termasuk Talak?? Berikut tanggapan berdasarkan Islam

Pasangan suami istri di Indonesia yang telah dikaruniai anak pada umumnya tidak lagi memanggil pasangannya dengan nama masing-masing. Suami akan memanggil istrinya dengan mamah, ibu, umi, atau bunda.

Begitu pun sebaliknya, istri akan memanggil suaminya denganpapah, ayah, abi, atau bapak. Tujuannya tidak lain untuk mendidik anak semenjak dini biar memanggil orangtuanya dengan panggilan sopan ibarat di atas, bukan memanggil orangtua dengan namanya saja.

Bila terjadi demikian, tentu anak yang memanggil orangtuanya dengan nama sangat tidak sopan, tidak sesuai dengan konteks budaya Indonesia. Bukankah panggilan suami pada istri dengan panggilan mamah, ibu, umi, bunda itu sama dengan talak zhihar? Tentu jawabannya yakni tidak. Saya akan mengetengahkan tiga klarifikasi untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Pertama, kasus zhihar terjadi semenjak masa Jahiliyah. Orang Jahiliyah ketika murka pada istrinya selalu mengucapkan anti ‘alayya ka zhari ummi, bagiku, dirimu itu sama ibarat punggung ibuku. Pada waktu itu, perkataan ini ditujukan untuk memposisikan istri sama ibarat ibu kandung. Artinya, ketika seorang lelaki menyampaikan perkataan di atas tidak lagi boleh menggauli istrinya untuk selama-lamanya.

Hal ini sebagaimana seorang anak tidak boleh menggauli ibu kandungnya sendiri. Selain itu, suami juga tidak lagi bertanggung jawab menafkahi istri dan anak-anaknya. Tradisi jelek yang merugikan wanita ini juga terjadi pada masa Nabi yang kemudian menjadikan turunya surah al-Mujadalah ayat pertama.

Waktu itu istri sobat Aus bin Shamit, Khaulah, mengadu pada Rasul atas perbuatan suaminya yang semena-mena men-zhihar-nya, sementara Khaulah mempunyai anak banyak, dan beliau juga masih cinta pada suaminya. Bila tradisi zhihar yang berlaku pada masa Jahiliyah masih berlaku pada masa Islam tentu hal tersebut merugikan berbagai perempuan. Konon, Aus bin Shamit murka hingga men-zhihar istrinya gara-gara tidak mau diajak berafiliasi badan. Padahal waktu itu Khaulah gres simpulan dari salat.

Kedua, kata zhihar masih satu akar kata dengan kata zhar (punggung). Pada waktu itu, punggung wanita merupakan simbol akan keindahan tubuh wanita yang menciptakan libido lelaki memuncak. Seperti disebutkan di atas, bahwa tujuan penyamaan diri istri dengan punggung ibu itu sama saja dengan mengharamkan dirinya sendiri untuk berafiliasi tubuh dengan istrinya itu, alasannya ibu pada masa Jahiliyah pun tidak boleh dinikah apalagi berafiliasi tubuh dengannya. Apakah konteks ini berlaku di Indonesia? Saya kira tidak ada.

Ketiga, tradisi zhihar pada masa Jahiliyah ibarat yang disebutkan di atas sudah tergerus dengan sendirinya semenjak surah al-Mujadalah itu turun untuk merespon curhat Khaulah kepada Nabi dikala suaminya men-zhihar dirinya. Sejak dikala itu, suami yang melaksanakan zhihar pada istrinya hanya diwajibkan membayar kafarat. Namun men-zhihar istri itu termasuk dosa besar. Sementara itu, pembayaran kafarat sanggup dilakukan sesuai kemampuan suami, bisa membebaskan budak mukmin perempuan, puasa dua bulan berturut-turut, memberi makan kepada enam puluh fakir miskin.

Saya kira tradisi talak zhihar ini tidak berlaku di Indonesia, alasannya tidak dikenal dalam kebudayaan Indonesia. Bahkan Ibnu Asyur menyebutkan bahwa tradisi zhihar itu hanya dikenal oleh masyarakat Madinah (Yatsrib) saja, tidak dikenal di Mekah
Sumber http://share-euy.blogspot.com/